mau tau sejarah pendidikan islam pertama di Indonesia?disini tempatnyakeren guysbanyak wawasan guys,,,bisa simak dari http://www.blog-guru.web.id/2012/09/pendidikan-islam-di-indonesia-sejarah.html









Pendidikan zaman kerajaan-kerajaan
1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).[15] Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
1.       Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i.
2.      Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh.
3.      Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama.
4.      Biaya pendidikan bersumber dari negara.
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.


2. Zaman Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i. Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3. Zaman Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
1.       Sebagai tempat belajar Al-Qur’an.
2.      Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:
1.       Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
2.      Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
3.      Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
4.      Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa.
5.      Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
6.      Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
7.      Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
  1. Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
  2. Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
  3. Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.
Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.
4. Kerajaan Langkat
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, kerajaan Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan yang dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya. Ketika itu dinamika intelektual khususnya dalam bidang pendidikan belum menjadi fokus perhatian para sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan masalah politik yang terjadi, yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat tidak berkembang dengan baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah sultan Abdul Aziz menjadi sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (baca: madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan agama  bagi masyarakat Langkat.
Dengan berdirinya madrasah Al-masrullah tahun 1912, madrasah Aziziah pada tahun  1914 dan madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar pada kedua maktab tersebut, maka banyak pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan luar pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya.
Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anak-anak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk dapat belajar dan menuntut ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar di maktab ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah dan  Adam Malik (mantan wakil presiden RI).
Dalam biografinya Adam Malik meyebutkan bahwa madrasah Al-masrullah termasuk lembaga yang mempunyai bangunan bagus dan modern menurut ukuran zaman tersebut. Di mana masing-masing anak dari keluarga berada (kaya) mendapat kamar-kamar tersendiri. Sistem pendidikan yang dijalankan pada sekolah ini sama seperti sistem sekolah umum di Inggris, di mana anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk tinggal di kamar-kamar tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin. Fasilitas-fasilitas olah raga juga disediakan di sekolah tersebut seperti lapangan untuk bermain bola dan kolam renang milik kesultanan Langkat.
Ketiga lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh sultan Abdul Aziz yang kemudian diberi nama dengan perguruan Jama’iyah Mahmudiyah. Pada tahun 1923 perguruan Jama’iyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang belajar, 12 ruang asrama, disamping berbagai fasilitas lainnya seperti 2 buah Aula, sebuah rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan sebagainya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada perguruan Jama’iyah Mahmudiyah, maka tenaga pengajarnya  sebagian besar merupakan guru-guru yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekkah, Medinah dan Mesir. Mereka semua dikirim atas biaya Sultan setelah sebelumnya diseleksi terlebih dahulu, hingga sekitar tahun 1930 siswa-siswa yang belajar di perguruan ini sekitar 2000 orang yang berasal dari berbagai macam daerah.
Selanjutnya sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan Sekolah Melayu, yang banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Mengenai gaji-gaji guru dan biaya perawatan bangunan semuanya ditanggung oleh pihak kesultanan Langkat, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa segala biaya yang berkaitan dengan fasilitas-fasilitas pendidikan di Langkat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan kerajaan.
Memang pada awal tahun 1900-an Pemerintahan Belanda telah mendirikan sekolahLangkatsche School (baca: Sekolah Belanda). Namun penerimaan siswanya masih sangat terbatas, di masa itu yang diterima hanya anak-anak bangsawan dan dan anak pegawai AmbtenaarBelanda serta orang-orang kaya yang berharta, dalam bahasa pengantarnya lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Belanda. Selain itu didirikan juga ELS (Europese Logare School) dan untuk anak-anak keturunan Cina didirikan Holland Chinese School atau HCS.

D. Analisa Sejarah Pendidikan Islam di Nusantara
1. Lembaga Pendidikan
a. Mesjid
Ketika ajaran Islam masuk ke Indonesia yang dibawa oleh da’i dan muballig, adalah hal yang sangat wajar bila salah satu yang menjadi perhatian utama masyarakat muslim adalah mesjid atau yang lebih sederhana sebagai pusat kegiatan penyebaran ajaran Islam.
Mesjid sebagai pusat aktifitas penyebaran Islam lambat laun-dan memang bukan sebuah hal yang dianggap terpisah-meluas perannya sebagai lembaga pendidikan bagi orang tua maupun anak-anak. Pada umumnya, pendidikan yang berlangsung di masjid berkisar pada membaca Alquran dan akhlak.
b. Pesantren
Tidak ada data yang cukup jelas mengenai kapan berdirinya pesantren, namun penelusuran sejarah menemukan bahwa lembaga pendidikan yang disebut dengan pawiyatan di pulau Jawa. Bila dianalisa, sistem pendidikan pawiyatan mirip dengan pesantren. Karena itu banyak yang mengatakan bahwa pesantren telah muncul sejak permulaan Islam di Nusantara yang mengambil bentuk dalam pawiyatan.
Materi yang diajarkan di dalam pawiyatan berkisar pada ilmu-ilmu agama dan sikap beragama. Pada tingkat dasar diajarkan membaca Alquran. Pada tingkat selanjutnya diajarkan kitab-kitab klasik yang juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Metode yang digunakan adalah metode penghafalan.
Pada lembaga ini juga telah dikenal kyai dan santri, mesjid dan kitab kuning.
c. Meunasah, Rangkang dan Dayah
meunasah, rangkang dan dayah adalah lembaga pendidikan yang dikenal pada masyarakat Aceh. Meunasah dapat diartikan sebagai madrasah. Namun bagi masyarakat meunasah juga berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pertemuan, pusat informasi, tempat tidur dan tempat singgah dan istirahat para musafir.
Sementara rangkang adalah tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar mesjid. Tampaknya meunasah yang menjadi tempat pendidikan dan pengajaran, sementara rangkangdisediakan untuk tempat tinggal murid. Karena itu, meunasah dan rangkang saling berdekatan.
Sementara dayah pada mulanya merupakan istilah bagi tempat di pojok-pojok mesjid yang digunakan sebagai tempat pengajaran. Istilah ini sendiri berasal dari bahasa Arab yaknizawiyah yang berarti sudut.
4. Surau
Istilah surau telah ada di Minangkabau sebelum Islam datang, karena surau merupakan sarana budaya Minangkabau yang fungsinya tempat tinggal para laki-laki yang telah akil dan balig. Seiring dengan datangnya Islam, surau menjadi tempat penyebaran agama dan pusat-pusat pendidikan. Surau sebagai lembaga pendidikan mengajarkan pembacaan Alquran bagi masyarakt.
2, Aktifitas Pendidikan
Pada masa awal kedatangan Islam hingga berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, aktifitas pendidikan Islam terfokus pada pengajaran ajaran Islam itu sendiri. Setelah terbentuknya komunitas muslim dan mesjid, aktifitas pendidikan yang intens terlihat. Dalam aktifitas ini terdapat guru yang merupakan ulama yang mengajarkan agama Islam yang terpusat di mesjid-mesjid.
Perkembangan selanjutnya, dengan adanya tempat-tempat tinggal yang disediakan bagi para murid membuktikan bahwa para murid telah tinggal di pusat-pusat pendidikan, artinya tidak tertutup kemungkinan telah ada semacam rihlah ilmiyah (ekspedisi ilmiah) yang bertujuan untuk menuntut ilmu dari ulama-ulama terkenal.
Aktifitas kependidikan lainnya yang juga terlihat adalah penulisan karya-karya ilmiah oleh beberapa ulama terkenal seperti Nuruddin ar-Raniri, Hamzah Fansyuri, Amir Hamzah dan lain sebagainya. Beberapa dari karya mereka masih dapat dijumpai hingga saat ini.
3. Warisan Pendidikan Masa Kerajaan
Ada beberapa warisan pendidikan Islam masa kerajaan-kerajaan Islam yang masih dapat ditemui hingga sekarang, baik berupa lembaga maupun karya-karya berupa buku.
Dari aspek lembaga, madrasah, meunasah, dayah, rangkang dan pesantren telah berkembang menjadi lembaga pendidikan yang mapan yang telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan pendidikan Indonesia. Beberapa lembaga lain seperti surau dan mesjid, seiring dibutuhkannya tempat pengajaran yang khusus, semakin jarang digunakan sebagai pusat pendidikan, kecuali untuk pendidikan informal.
Karya-karya utama dalam pendidikan Islam pada masa ini adalah seperti karya Nuruddin ar-Raniri yang berjudul Shirat Mustaqim dan Bustan As-Salathin atau karyat Abdul Samad Al-Palembani yang berjudul Hidayat As-Salikin


Written by

0 komentar: